kebijakan
pengelolaan sumber daya alam menimbulkan berbagai
inkonsistensi. Untuk permasalahan istilah saja bagaimana negara
menempatkan diri terhadap sumber daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan.
Ada yang menggunakan kata penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum
ada konsep yang baku dan dapat dipedomani mengenai “hak menguasai negara”
terhadap bumi, air dan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal
33 UUD 1945. Dari segi visi misi kebijakan, Maria S. Soemardjono dkk. membuat
penilaian sebagai berikut terhadap berbagai kebijakan terkait penataan ruang
dan pengelolaan sumber daya alam:
Kebijakan
|
Visi Misi
|
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
|
konservasi sumber daya alam, bersifat pro-rakyat dan
berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan, dan
mengedepankan nasionalisme
|
UU 11/1967 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan
|
Eksploitasi bahan
tambang dan pro-kapital.
|
|
|
UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
|
Konservasi dan
pro-rakyat
|
UU 41/1999 tentang Kehutanan
|
Perimbangan eksploitasi dan konservasi, namun lebih
cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada pro-rakyat
|
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
|
Eksploitasi dan
pro-kapital
|
UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air
|
Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada
kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen usaha yang
ahli.
|
UU 31/2004 tentang Perikanan
|
Eksploitasi, pro-kapital
meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil.
|
UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang
|
Konservasi dan pro-rakyat
|
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau
– pulau Kecil (PWP3K)
|
Konservasi, dan
eksploitasi, pro-rakyat, tetapi juga pro-kapital.
|
UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
|
Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap membuka peluang
pada kapital besar.
|
Selain itu kebijakan
otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang
kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan
daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber
daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan
dengan kebijakan pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar
pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan
sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang
dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk
pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara Timur; serta kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten
Kepulauan Meranti. Dukungan pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi
korporasi juga diwujudkan dalam dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi
pihak-pihak yang dianggap “menganggu”. Hal ini tercermin dalam berbagai UU,
mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar