Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108). Pembangunan
regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama
kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi,
penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor
returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari
daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.
Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional
yang lazim dikenal, diantaranya : Teori Basis Ekspor; Teori Pertumbuhan Jalur
Cepat; Teori Pusat Pertumbuhan; Teori Neoklasik; Model Kumulatif Kausatif; dan
Model Interregional
1.
Teori Basis
Ekspor
Teori Basis
Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan
kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor produksi
atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis
(dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang
bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian
wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan
lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerah itu sendiri. Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi,
yaitu, Asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur
eksogen (independent) dalam pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain
terikat (dependent) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti
diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong
peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan
pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara
keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi
impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan. Beberapa hal
penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara lain;
a.
Bahwa suatu
daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk dapat tumbuh dengan cepat,
sebab faktor penentu pertumbuhan daerah adalah Universitas Sumatera Utara
keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh daerah tersebut;
b.
Pertumbuhan
ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan
memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor
c.
Ketimpangan
antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing
daerah.
Model
teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahankelemahan antara
lain sebagai berikut :
a.
Menurut
Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu
daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil
apabila dibandingkan dengan total pendapatan.
b.
Ekspor jelas
bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada banyak
unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau
bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas tenaga
kerja.
c.
Dalam melakukan
studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh adalah rata-ratanya
bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata untuk proyeksi
seringkali memberikan hasil yang keliru apabila nilai multiplier dari tahun ke
tahun.
d.
Beberapa pakar
berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi maka
masalah time lag (masa tenggang) harus diperhatikan.
e.
Ada kasus
dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil.
Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam
kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan lainnya.
Harry W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics (Tarigan, 2005
: 56) memberi uraian sebagai berikut:
dimana : Yi = pendapatan
daerah
Ei = pengeluaran daerah
Mi = impor
daerah
Xi = ekspor daerah
2.
Teori
Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori
pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955
(Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah
perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan
dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor
itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan
kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang
lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk
perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus
bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut
akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara
keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor adalah membuat sektor-sektor
saling terkait dan saling mendukung. menggabungkan kebijakan jalur cepat dan
mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait akan mampu membuat
perekonomian tumbuh cepat. Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa
ahli ekonomi (Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan
teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam
masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan
mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan
kerja yang bertambah setiap tahunnya.
3.
Teori Pusat
Pertumbuhan
Teori Pusat
Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat
menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara
sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat
untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu
teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan
wilayah dan perkotaan terpadu. Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan
yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah
seperti : kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul
distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar
pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland),
daerah pertanian, atau daerah pedesaan. Keuntungan berlokasi pada tempat
konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi
(economic of scale) atau agglomeration (economic of localization) (Tarigan,
2005 : 159). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah
berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per
unitnya menjadi lebih efisien. Economic of agglomeration adalah keuntungan
karena di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat
digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan,
asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih,
tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain
sebagainya. Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih
terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut :
a.
Generatif :
hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang
lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya;
b.
Parasitif :
hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak
membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai
usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya;
c.
Enclave
(tertutup) : dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah
sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.
Pusat
pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara
berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect
(unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong
pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2005 : 162).
4.
Teori Neoklasik
Teori Neoklasik
(Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964), kemudian dikembangkan
lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam negara yang sedang
berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan
kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila
proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat
kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan
pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga
proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi.
Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur
yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan
teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam
pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap
pertumbuhan regional.
5.
Model Kumulatif
Kausatif
Model kumulatif
kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar Myrdal (1975)
dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini menyatakan
bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect”
dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi
antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah
kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin.
Dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Namun Myrdal yakin bahwa dampak
spread effect ini lebih kecil daripada back wash effect. Pertambahan permintaan
terhadap produk daerah miskin tersebut terutama barang-barang hasil pertanian
oleh daerah kaya tentu saja mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara
konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi.
Para pelopor teori ini menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk
mengatasi perbedaan yang semakin menonjol.
6.
Model
Interregional
Model ini
merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor yang
bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu
sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan
dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional
(Tarigan, 2005 : 58). Dalam model ini diasumsikan bahwa selain ekspor,
pengeluaran pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu
terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan
erat. Dengan memanipulasi rumus pendapatan yang pertama kali ditulis Keynes,
oleh Richardson merumuskan model interregional ini menjadi :
dimana : Yi = regional
income
Ci = regional
consumption
Ii = regional
investment
Gi = regional
government expenditure
Xi = regional
exports
Mi = regional
import
Sumber-sumber
perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat berasal dari :
a. Perubahan pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan
pengeluaran pemerintah
b. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang
berada dalam suatu sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor
c. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat
konsumsi marjinal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak
marjinal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar