Utang luar negeri atau pinjaman luar
negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para
kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa
pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang
diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Utang luar negeri Indonesia lebih
didominasi oleh utang swasta. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi utang luar
negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129
miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan untuk utang
swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September 2006 menjadi US$
51,13 miliar pada Desember 2006.
Negara-negara donor bagi Indonesia
adalah:
·
Jepang merupakan kreditur terbesar dengan USD 15,58 miliar.
·
Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USS 9,106 miliar
·
Bank Dunia (World Bank) sebesar USD 8,103 miliar.
·
Jerman dengan USD 3,809 miliar, Amerika Serikat USD 3,545
miliar
·
Pihak lain, baik bilateral maupun multilateral sebesar USD
16,388 miliar.
Pembayaran utang
Utang luar negeri pemerintah memakan
porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah
pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan,
dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah
mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar
Rp 219,4 triliun. Jumlah utang negara Indonesia kepada sejumlah negara asing
(negara donor)di luar negeri pada posisi finansial 2006, mengalami penurunan
sejak 2004 lalu sehingga utang luar negeri Indonesia kini 'tinggal' USD 125.258
juta atau sekitar Rp1250 triliun lebih.
Pada tahun 2006, pemerintah
Indonesia melakukan pelunasan utang kepada IMF. Pelunasan sebesar 3,181,742,918
dolar AS merupakan sisa pinjaman yang seharusnya jatuh tempo pada akhir 2010.
Ada tiga alasan yang dikemukakan atas pembayaran utang tersebut, adalah
meningkatnya suku bunga pinjaman IMF sejak kuartal ketiga 2005 dari 4,3 persen
menjadi 4,58 persen; kemampuan Bank Indonesia (BI) membayar cicilan utang
kepada IMF; dan masalah cadangan devisa dan kemampuan kita (Indonesia) untuk
menciptakan ketahanan.